Wednesday, April 17, 2024

Indonesian | Takut

"Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang Yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengaku Dia sebagai Mesias, akan dikucilkan" – Yohanes 9:22 


Pexels.com


Seorang laki-laki terlahir dalam keadaan buta. Pada suatu hari ia bertemu dengan Yesus dan Yesus menyembuhkannya. Laki-laki tersebut tidak lagi harus duduk dan meminta belas kasihan orang seperti biasanya yang dia lakukan selama bertahun-tahun. Masa depan yang lebih cerah menantinya, sesuatu yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya.

Tetapi orang-orang Farisi mengabaikan ceritanya mengenai bagaimana Yesus menyembuhkannya. Didalam pikiran mereka, merupakan hal yang tidak mungkin menyembuhkan seorang buta terutama ketika dia terlahir dalam  keadaan  seperti itu. Selain itu, mereka membenci Yesus, dan ingin menjebaknya, bahkan menyalahkannya karena menyembuhkan seseorang pada hari Sabat. Mereka tidak percaya pada lelaki itu, sehingga mereka membawa orang tuanya untuk memastikan kejadian tersebut. Justru bukannya mengkonfirmasi cerita anak mereka, mereka lebih memilih untuk bersikap masa bodoh mengenai hal tersebut. Seolah-olah tidak ada hal yang istimewa, bahkan hal tersebut sama sekali tidak mengganggu mereka.

Saudara-saudara yang terkasih, melalui kehidupan Yesus di bumi ini, selain kebencian dari pemimpin-pemimpian spiritual dan orang lain yang tidak mengenal-Nya, Dia juga menghadapi pengkhianatan, penolakan, ketidakstabilan, dan keraguan dari orang-orang yang sangat dekat dengan-Nya. Dikatakan, "Tidak masalah ketika orang lain menyakiti kita, tetapi ketika seseorang yang dekat melakukan hal tersebut, itu sangat menusuk hati." Ketika Yesus telah menyembuhkan orang itu, Yesus juga menciptakan hubungan dengannya (Yohanes 9:35-39).

Lelaki itu mengakui Yesus dengan ketulusan hati, tetapi orang tua laki-laki tersebut berbeda.

Bagi Yesus, konsistensi merupakan hal yang sangat penting. Dia bertanya kepada Petrus, "Apakah kamu mengasihiku?" tiga kali setelah kebangkitannya (Yohanes 21:15-17). Dia menginginkan orang-orang Kristen untuk mencintai-Nya secara pribadi dan dihadapan orang banyak. Berbicara mengenai konsistensi, saya bisa memahaminya dari contoh sederhana tentang bagaimana cara ayah saya mencintai ibu saya. Dia mencintai ibu saya ketika mereka sendirian maupun ketika mereka di hadapan banyak orang. Terlepas dari anak-anak, kebutuhan ibu saya menjadi hal yang utama (meskipun Ibu selalu memprioritaskan Ayah). Mereka terkenal di kota kecil saya di Ambon - Indonesia. Pasangan tua yang senang berjalan-jalan di sekitar kota menggunakan satu payung, tersenyum dan sibuk bercengkrama satu dengan yang lain. Ayah saya sering memuji ibu di hadapan kami, anak-anak mereka, dan di depan umum dengan wajah bersyukur dengan antusias tentang bagaimana wanita yang berparas cantik ini telah menjadi teman setianya dalam suka maupun duka. Jelas. Berani. Tanpa adanya kebingungan atau rasa malu apalagi takut akan pikiran orang lain.

Orang tua lelaki itu memahami bahwa Yesus tidak disukai oleh pemimpin Yahudi. Mujizat yang Yesus lakukan kepada anak laki-laki mereka tidak mungkin dilakukan oleh manusia biasa, kecuali Mesias yang melakukannya. Inilah tipe manusia yang lebih takut kepada manusia dari pada Allah. Lebih khususnya lagi, mereka takut akan dikeluarkan dari komunitas agama (dikeluarkan dari sinagoge), jika mereka mengakui kuasa Yesus dan dengan demikian mereka mengkonfirmasi status-Nya sebagai Mesias (ayat 22). Orang tua ini berkata, "Tanyakanlah padanya. Dia sudah dewasa; dia akan berbicara untuk dirinya sendiri." Mereka bahkan tidak memuji Allah, dan tidak menunjukkan rasa syukur kepada Yesus atas anugerah yang luar biasa ini - anugerah penglihatan yang mungkin mereka rindukan selama bertahun-tahun.

Apa yang akan dipikirkan Yesus tentang tindakan orang tua laki-laki yang dulunya buta itu? Bagaimana dengan kita? Apakah kita takut untuk menunjukkan identitas kita sebagai orang-orang  Kristen? Apakah kita sering berbicara tentang karya Yesus dalam hidup kita dengan orang-orang yang ada di sekitar kita? Apakah dunia tahu bahwa kita mencintai-Nya? Mari kita konsisten baik secara pribadi maupun di hadapan umum untuk memuliakan satu-satunya Penyelamat, Yesus Kristus, dengan berani, dan dengan ketulusan. Amin.

Refleksi dari Yohanes 9: 18 – 23 oleh Desire Litaay

(Dengarkan podcastnya disini). 


Tuesday, April 16, 2024

Indonesian: Terang Dunia

" Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia " - Yohanes 9 : 5

Pexels.com



Orang yang buta sejak lahirnya, akhirnya dapat melihat - Yohanes 9 : 1-12

9: 1 Waktu Yesus sedang lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahirnya.

9:2 Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya: "Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?"

9:3 Jawab Yesus: "Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.

9:4 Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja.

9:5 Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia."

9:6 Setelah Ia mengatakan semuanya itu, Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi

9:7 dan berkata kepadanya: "Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam." Siloam artinya: "Yang diutus." Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.

9:8 Tetapi tetangga-tetangganya dan mereka, yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata: "Bukankah dia ini, yang selalu mengemis?"

9:9 Ada yang berkata: "Benar, dialah ini." Ada pula yang berkata: "Bukan, tetapi ia serupa dengan dia." Orang itu sendiri berkata: "Benar, akulah itu."

9:10 Kata mereka kepadanya: "Bagaimana matamu menjadi melek?"

9:11 Jawabnya: "Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat."

9:12 Lalu mereka berkata kepadanya: "Di manakah Dia?" Jawabnya: "Aku tidak tahu."

Refleksi dari ajaran ini, dimana Tuhan menjawab pertanyaan murid-murid tentang apa penyebab orang tersebut buta : " Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang ; akan datang malam, di mana tidak ada seorang pun yang dapat bekerja. Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia. "

Dalam perjalananku sembuh dari depresi klinis dan pikiran-pikiran untuk bunuh diri, saya telah bertemu dengan teman-teman kristen yang beritikad baik. Teman-teman ini mendesak saya untuk lebih banyak berdoa dan membaca lebih banyak alkitab. Mereka ada tanpa mengerti bahwa ada faktor-faktor sosial, biologi, dan spiritual yang mempengaruhi kesehatan mental saya. Lebih menyakitkan lagi untuk mengasumsikan bahwa tantangan-tantangan kesehatan mental saya disebabkan oleh kecacatan spiritual tanpa memperhitungkan faktor-faktor lain dalam hidup saya. 

Sebagai doa dan pujian penutup, saya berikan lagu pujian yang indah ini _Blessings_. Lagu ini mengingatkan saya bahwa terkadang berkat datang dalam bentuk pencobaan dan penderitaan. Amin. 

 *Blessings*

Verse 1

We pray for blessings

We pray for peace

Comfort for family, protection while we sleep

We pray for healing, for prosperity

We pray for Your mighty hand to ease our suffering

And all the while, You hear each spoken need

Yet love is way too much to give us lesser things.

Chorus

'Cause what if your blessings come through raindrops?

What if Your healing comes through tears?

What if a thousand sleepless nights

Are what it takes to know You're near?

And what if trials of this life are Your mercies in disguise?

Verse 2

We pray for wisdom

Your voice to hear

And we cry in anger when we cannot feel You near

We doubt Your goodness, we doubt Your love

As if every promise from Your Word is not enough

And all the while, You hear each desperate plea

And long that we'd have faith to believe.

 

Repeat Chorus

Verse 3

When friends betray us

And when darkness seems to win

We know that pain reminds this heart

That this is not, this is not our home

It's not our home

 

Repeat Chorus

 

Ending

What if my greatest disappointments

Or the aching of this life

Is the revealing of a greater thirst this world can't satisfy

And what if trials of this life

The rain, the storms, the hardest nights

Are Your mercies in disguise?


Singer: Laura Story

Copyright: Blessings lyrics © Capitol CMG Publishing, Universal Music Publishing Group, Warner Chappell Music, Inc

Refleksi dari Yohanes 9:1-12 oleh Chris Tan

Dengarkan podcast nya disini.)

Monday, April 15, 2024

Timere | Afraid

"His parents said this because they were afraid of the Jewish leaders, who already had decided that anyone who acknowledged that Jesus was the Messiah would be put out of the synagogue." – John 9:22 (NIV)

Photo by Pexels.com

A man was born blind. One day he met Jesus and Jesus cured him. He no longer had to sit and beg for people's mercy as usual for years. A brighter future awaited him, something he could not even imagine before.

But the Pharisees ignored his story of how Jesus healed him. It was impossible in their minds to cure a blind man especially when he was born with it. Moreover, they hated Jesus, and wanted to set him up, blame him for healing someone on the Sabbath. They did not believe the man, so they brought his parents to make sure of the case. Instead of confirming their son's story, they chose to act ignorant about it. Like it was nothing special that did not even bother them.

Dear brothers and sisters, through Jesus' life on this earth, beside hatred from the spiritual leaders and others who did not know him, he was also facing betrayals, denials, unsteadiness and doubts from his very close people. It is said, "It does not matter when other people hurt us, but when someone close does, it cuts deeply." When Jesus healed the person, he also created a connection with him (John 9:35-39). The man acknowledged Jesus wholeheartedly, but his parents were different.

For Jesus, consistency is very important. He asked Peter, "Do you love me?" three times after his resurrection (John 21:15-17). He wants Christians to love him privately and publicly. Speaking of consistency, I may understand it from a humble example of the way my father loves my mother. He loves her when they are alone as well as in front of so many people. Apart from the kids, her needs come first (although Mom always puts Dad's first). They are famous in my little home town in Ambon - Indonesia. An old couple who likes to walk around the town using one umbrella, smiling and busy talking to each other. He frequently praises her in front of us, their children, and in public with a grateful face and enthusiasm of how this beautiful lady has been his lovely companion through ups and downs. Clear. Bold. Without any confusion or shyness let alone fear of people's thoughts.

The man's parents understood that Jesus was disliked by the Jewish leaders. The miracle He did to their son was impossible to be done by humans, unless the Messiah did it. Here is a type of humans who are afraid of men more than God. To be specific, they had fear of being excluded from the religious community (be put out of the synagogue), if they acknowledged Jesus' power and thus confirmed his status as the Messiah (v.22).  These parents said, "Ask him. He is of age; he will speak for himself." They did not even praise God, and show gratitude towards Jesus for such an amazing gift - the gift of sight which they might long for ages.

What would Jesus think about the act of the once-blind man's parents? How about us? Are we afraid to show our identity as Christians? Have we talked often about Jesus' work in our lives with people around us? Does the world know that we love Him? Let's be consistent in private and in public to glorify our One and Only Savior, Jesus Christ, boldly, courageously and sincerely. Amen.

Reflection on John 9:18-23 by Desire Litaay

(Listen to podcast here)